I. YAMA (Pengekangan Diri)
a. Ahimsa
Berarti tidak menyakiti atau melukai perasaan orang lain baik melalui pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Dengan demikian maka orang harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya dengan seksama agar pikiran, perkataan dan perbuatannya tidak menyakiti orang lain dan tidak berlaku tidak adil terhadap siapapun juga. Setiap pikiran atau perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka hal itu disebut himsa.
b. Satya
Yaitu gerak pikiran yang patut diambil untuk menuju kebenaran yang dalam prakteknya meliputi penggunaan kata-kata yang tepat dan dilandasi kebijakan untuk mencapai kebaikan bersama. Jadi satyam tidak dapat diartikan sebagai benar atau kebenaran, dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan berbagai faktor situasi yang bersifat relatif walaupun yang dituju pada akhimya adalah kebenaran mutlak didalam penyatuan dengan Paramabrahma. Dijalan spiritual inilah pikiran, perkataan dan perbuatan yang sedemikian bertenggang rasa itu disebut satya.
c. Asetya
Artinya tidak mencuri, tidak mengambil atau tidak mengakui kepunyaan orang lain.
d. Brahmacarya
Maksudnya tetap melekat kepada Brahma. Tujuannya adalah berusaha memandang dan memperlakukan benda-benda kasar yang dihadapi sebagai manifestasi dari Brahma dan bukan semata-mata dipandang hanya sebagai bentuk fisik saja.
e. Aparigraha
Pengendalian subyektifitas terhadap benda-benda kesenangan dilakukan dengan Brahmacarya, sedangkan pengendalian obyektifitas dilakukan dengan Aparigraha. Maksudnya adalah tidak berlebihan dalam menikmati benda kesenangan untuk mempertahankan kehidupan.
II. NIYAMA (Pengamatan)
Fase permulaan dalam kebaktian Yoga adalah melaksanakan Yama dan pada bagian ini yang terpenting adalah Brahmacarya. Prinsip ini merupakan yang terutama dari keempat prinsip yang lain dalam Yama Sadhana. Sedangkan dalam Niyama Sadhana prinsip yang terpenting adalah lisvarapranidhana.
a. Shaoca
Artinya kebersihan, kemurnian dan kesucian yang meliputi lahiriah dan rohaniah. Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Karena itu hanya pengabdian yang tanpa egoisme dan melihat dunia ini dengan kesadaran kosmis saja yang dapat mengarahkan orang kepada kemantapan Shaoca mental. Kegiatan ini merupakan kebalikan dari kegiatan untuk kepentingan diri sendiri.
b. Santosa
Adalah suatu keadaan yang menyenangkan dan wajar, yang tanpa tekanan dan kepura¬-puraan. Keadaan ini dicapai atas dasar pengertian bahwa kepuasan kesenangan tidak akan bisa diperoleh dengan jalan mengikuti dorongan-dorongan naluriah seperti yang terjadi pada hewan. Kebahagiaan abadi tidak akan didapatkan dari benda-benda yang sifatnya terbatas.
c. Tapah
Yaitu melakukan usaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Disini pengetahuan dan pikiran analitis mempunyai peran yang sangat penting, karena dengan demikian langkah spiritual itu akan mempunyai arah yang benar dan konsisten dalam menuju ke pembebasan jiwa.
d. Svadhyaya
Memahami dengan sebaik-baiknya setiap permasalahan kerohanian disebut Svadhyaya. Jadi tidak hanya sekedar mengerti permasalahannya hanya dengan membaca atau mendengar dari Kitab Suci saja, tetapi juga harus memahami kepetingannya, mengetahui ide dasar yang tersembunyi didalamnya dan jauh lebih kedalam lagi. Sedangkan untuk dapat memahami arti yang lebih mendalam dari ayat-ayat Kitab Suci pertama-tama harus dicari ide dasar yang luhur yang terbebas dari kepentingan ego. Apabila ide dasar yang demikian itu gagal dipahami maka semangatnya yang sejati pasti tidak akan dapat terungkapkan.
e. Iisvarapranidhana
lisvara artinya pengendali alam semesta, Dia itulah Tuhan Yang Maha Esa, Pranidhana artinya memahami dengan sebaik-baiknya atau menjadikan sesuatu itu tempat berlindung. Jodi lisvarapranidhana berarti menyatukan diri dengan arah gelombang pikiran kosmis atau dengan kata lain menerima lisvara sebagai satu-satunya panutan untuk mendapatkan kehidupan kekal.
III. ASANA (Sikap Tubuh)
Semula ada 84 lakh (8.400.000) yang mewakili gerakan dari seluruh makhluk hidup yang terdapat di dunia ini, dan diantaranya ada 84 macam yang dianggap paling baik. Kemudian dari 84 macam itu diantaranya terdapat 32 macam sikap tubuh yang menurut kegunaannya dapat dibedakan menjadi:
a. Untuk Japa dan Dhyana
Menurut para Rishi dan para waskita jaman dahulu menganggap bahwa asana yang paling cocok digunakan untuk melakukan Japa dan Dhyana adalah: Padmasana, Sidhasana, Swastikasana dan Sukhasana.
b. Untuk membangun Kundalini
Yang terutama adalah Sirshasana, Sarvangasana, Matsyasana dan Ardha Matsyendrasana. Sebelum membangun Kundalini ini seseorang terlebih dahulu harus mempunyai kebersihan badan, kebersihan nadis, kebersihan cipta dan kebersihan pikiran. Untuk membersihkan badan ada enam macam latihan (Shat Kriyas) yaitu: Dhauti, Basti, Neti, Nauli, Tratak dan Kapalabhakti. Kemudian untuk membangun Kundalini dapat pula ditunjang dengan melakukan Mudras dan Bandhas (sikap badan yang tertentu) yang dalam Gerandha Samhita disebutkan ada 25 macam, namun yang terpenting ada 12 macam yaitu: Mula Bandha, Jalandhara Bandha, Uddiyana Bandha, Maha Mudra, Maha Bandha, Maha Veda, Yoga Mudra, Vipareethakarani Mudra, Kechari Mudra, Vajroli Mudra, Shakti Chalan Mudra dan Yoni Mudra.
c. Asana-asana yang lain berguna bagi kesehatan.
IV. PRANAYAMA (Pengaturan Nafas)
Prana ialah seluruh tenaga yang berwujud dalam alam ini. Prana itu kekuatan hidup Sukhsma (halus). Sedangkan Nafas ialah penjelmaannya Prana yang berwujud diluar. Tempat kedudukan Prana adalah Jantung. Dalam Pranayama ada berbagai macam latihan untuk mencocokkan resam tubuh, perangai dan maksud yaitu: bernafas dalam/panjang, Sukh Purvak (ringan senang), Pranayama waktu berjalan, Pranayama waktu Meditasi, nafas ritmik/berirama, Suryabedha, Sitkari, Bhastrika, Murcha, Ujjayi, Sitali, Bhramari, Plavini, Kevala Kumbhak dan lain-lainnya.
Sebelum melatih Pranayama terlebih dahulu harus membersihkan nadi-nadi (yaitu dengan Samanu dan Nirmanu) karena hanya dengan demikian saja yang mendapat kefaedahan besar dari Pranayama. Tujuan Pranayama sebenarnya adalah untuk mengawasi akal dan pikiran agar manusia dapat mengatasi keadaannya, perangainya dan dengan sadar dapat menyelaraskan hidup pribadinya dengan hidup alam.
V. PRATYAHARA (Penarikan Indera)
Penarikan indera dari obyek-obyeknya adalah dimaksudkan untuk menjadikan pikiran benar-¬benar tertutup bagi rangsangan yang dari luar. Seorang Yogi harus dapat menjadikan hatinya sendiri sebagai biara dan setiap saat is harus mengasingkan diri didalam biara itu.
VI. DHARANA (Kosentrasi)
Pikiran pertama-tama dikaitkan dengan suatu obyek agar supaya menetap dan tidak bergerak, yang paling baik jika Citta dipusatkan pada tubuhnya sendiri, atau kepada penjelmaan Tuhan. Dengan demikian agar orang kehilangan keinginannya kepada landasan yang lain. Inilah suatu wujud dari proses kebatinan dimana segala indera pada tingkatan ini telah dilucuti.
VII. DHYANA (Meditasi)
Ditimbulkan oleh Dharana karena Citta yang telah tidak diganggu oleh pikiran-pikiran lain kecuali obyek yang telah menjadi sasarannya lalu digunakan untuk merenungkan kebenaran ajaran Yoga, dan kemudian akan mencapai puncaknya dalam Samadhi.
VIII. SAMADHI (Tafakur)
Pemusatan pikiran menjadi demikian mendalam sehingga obyek permenungan menarik segala perhatian dan Citta menjadi abstrak, menjadi seolah-olah kosong dari dirinya sendiri. Inilah keadaan dimana hubungan dengan dunia luar telah dipatahkan. Purusha menerima status dan kedudukannya yang semula. Disini tabiat kemanusiaan yang biasa telah ditinggalkan dan Sang Yogi dinaikkan kepada keberadaan yang lebih tinggi. Ada dua tahapan dalam Samadhi yaitu:
1. Samprajnata Samadhi
Yaitu samadhi yang masih berbiji. Pada tahapan ini Samadhi masih belum sempurna, dimana Citta masih berfungsi. Citta adalah merupakan gabungan antara Budhi (intelegensia), Ahamkara (asas individuasi) dan Manas (akal). Citta dipandang sebagai hasil pertama dari perkembangan Prakrti (asas kebendaan) dan didalam Citta inilah Purusha dipantulkan dan melalui aktifitas Citta ini pula Purusha nampak bertindak, bergirang dan menderita. Demikianlah perputaran Samsara berkembang sehingga manusia secara tidak sadar selalu ditaklukkan oleh lima Klesa (godaan atau siksaan yang asasi) yang terdiri dari:
• Awidya (ketidaktahuan)
• Asmita (yaitu sangka diri yang salah yang menyamakan Purusha dengan Citta, dengan tubuh atau dengan yang lainnya).
• Raga (terikat pada nafsu)
• Dwesa (keengganan untuk menderita)
• Abhiniwesa (keinginan hidup)
Dalam tingkatan ini seorang Yogi harus berusaha agar kebenaran yang masih menjadi obyek yang dikenal melalui perantaraan itu diubah menjadi intuisi yang langsung. Sekalipun Sang Yogi telah dihisabkan kedalam permenungan tetapi ia masih sadar bahwa ia mendapat pengetahuan yang dapat membedakan antara Purusha dan Prakrti.
2. Asamprajnata Samadhi
Yaitu samadhi tak berbiji, dimana dalam tahap ini kesadaran telah hilang dan Citta berhenti berfungsi. Sang Yogi menjadi lupa akan segala sesuatu tentang dunia ini, bahkan lupa akan dirinya sendiri sebagai individu. Ini bukan berarti bahwa yang ada hanyalah kekosongan saja, karena Purusha masih tetap ada akan tetapi sekarang dalam keadaan yang berdiri sendiri dalam menikmati Kaivalyanya (kebebasannya yang mutlak). la menyinarkan sinarnya tanpa ada yang mengeruhkannya.
Inilah tujuan Yoga (jalan panunggalan) yang terakhir.